Kamis, 21 November 2013

Hukum dan Uang

Beberapa waktu yang lalu (bulan November 2012), saya berkeinginan untuk membuat SIM (surat ijin mengemudi) C yang diantar oleh ayah saya ke kantor yang khusus mengurus administrasi sim di daerah taman kota, jakarta barat. Karena baru pertama kali membuat sim, saya diberi wejangan oleh ayah dan adik saya yang sudah terlebih dahulu membuat SIM C di ungaran, kab. Semarang. 
Ketika sampai di samsat, saya melalui beberapa prosedur yang harus dialakukan oleh calon peserta ujian sim untuk pertama kali dan kalo menurut saya, petugasnya dalam melayani jauh dari kata ramah. 
Setelah melalui beberapa prosedur dan tes kesehatan, saya melalui tes tertulis. Tesnya sendiri dengan cara para peserta diberi lembar jawaban komputer (LJK) seperti jika kita mau UAN dan soal dibagikan oleh petugas sesuai dengan sim apa yang akan kita ambil. Setelah selesai, peserta tes dipersilahkan untuk menunggu di luar ruangan depan loket untuk pengumuman hasil ujian. Setelah selesai ujian, saya duduk disamping ayah saya yang sudah menunggu, dan beliau sangat terkejut mengetahui bahwa tes di jakarta masih memakai cara manual, sedangkan beliau dan adik saya ketika tes sekitar tahun 2011 saja sudah menggunakan sistem komputer, padahal mereka tesnya bukan di Ibukota Jakarta tapi di kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya saya menerima hasil tes yang hanya berskor 13. Untuk lulus ujian tertulis dibutuhkan skor minimal 18. Karena saya tidak lulus, untuk ujian ulang diharuskan dapat minimal dua minggu setelahnya.
Setelah setahun, November 2013, saya baru punya kesempatan untuk ujian lagi (sok sibuk ya, padahal sih sibuk main). Untuk ujian kedua saya lebih percaya diri karena sudah tahu bentuk soalnya dan bahkan sudah belajar undang-undang yang biasanya saya malas ngapalnya. Untuk ujian yang kedua, saya langsung ke ruang ujian tertulis tanpa melalui prosedur ketika pertama kali mendaftar ujian. Saya yakin kali ini akan lulus atau paling tidak saya akan mendapat skor 20 dari 25 soal karena soalnya sama. Tapi ketika mendapat hasilnya saya terkejut karena hanya mendapat skor 17. Jujur saja, saya merasa kecewa, sedih, dan binggung.

Sebelum saya mendaftar pertama kali, ayah saya ditawari oleh seorang oknum untuk langsung 'tembak' dengan harga sekitar rp 350k (waktu itu november 2012, sebelum kasus joko susilo meluas).  Tapi waktu itu saya tolak karena saya pikir kenapa untuk mendapatkan ijin mengemudi saja harus mengambil jalan pintas, yang artinya saya juga mendukung tindak korupsi yang selama ini saya maki-maki para pelakunya. Idealis? Yahh namaya juga baru lulus kuliah. Kalau bicara soal hukum di indonesia, sudah merupakan rahasia umum kalau hukum dan oknum di Indonesia bisa dibeli dengan uang.  Ironis? Sangat!! Bagaimana cara mengubah ‘tradisi’ bangsa kita yang sudah mendarah daging bahkan mungkin lebih kental dari darah ini dihapuskan??? Tugas anak muda penerus generasi, tapi pertanyaannya sanggupkah atau beranikah mereka???

Tidak ada komentar:

Posting Komentar