Beberapa waktu yang lalu (bulan November
2012), saya berkeinginan untuk membuat SIM (surat ijin mengemudi) C yang
diantar oleh ayah saya ke kantor yang khusus mengurus administrasi sim di
daerah taman kota, jakarta barat. Karena baru pertama kali membuat sim, saya
diberi wejangan oleh ayah dan adik saya yang sudah terlebih dahulu membuat SIM C di ungaran, kab. Semarang.
Ketika sampai di samsat, saya melalui
beberapa prosedur yang harus dialakukan oleh calon peserta ujian sim untuk
pertama kali dan kalo menurut saya, petugasnya dalam melayani jauh dari kata
ramah.
Setelah melalui beberapa prosedur dan
tes kesehatan, saya melalui tes tertulis. Tesnya sendiri dengan cara para
peserta diberi lembar jawaban komputer (LJK) seperti jika kita mau UAN dan soal
dibagikan oleh petugas sesuai dengan sim apa yang akan kita ambil. Setelah
selesai, peserta tes dipersilahkan untuk menunggu di luar ruangan depan loket
untuk pengumuman hasil ujian. Setelah selesai ujian, saya duduk disamping ayah
saya yang sudah menunggu, dan beliau sangat terkejut mengetahui bahwa tes di
jakarta masih memakai cara manual, sedangkan beliau dan adik saya ketika tes
sekitar tahun 2011 saja sudah menggunakan sistem komputer, padahal mereka
tesnya bukan di Ibukota Jakarta tapi di kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya saya menerima
hasil tes yang hanya berskor 13. Untuk lulus ujian tertulis dibutuhkan skor
minimal 18. Karena saya tidak lulus, untuk ujian ulang diharuskan dapat minimal
dua minggu setelahnya.
Setelah setahun, November 2013, saya
baru punya kesempatan untuk ujian lagi (sok sibuk ya, padahal sih sibuk main). Untuk
ujian kedua saya lebih percaya diri karena sudah tahu bentuk soalnya dan bahkan
sudah belajar undang-undang yang biasanya saya malas ngapalnya. Untuk ujian
yang kedua, saya langsung ke ruang ujian tertulis tanpa melalui prosedur ketika
pertama kali mendaftar ujian. Saya yakin kali ini akan lulus atau paling tidak
saya akan mendapat skor 20 dari 25 soal karena soalnya sama. Tapi ketika mendapat
hasilnya saya terkejut karena hanya mendapat skor 17. Jujur saja, saya merasa kecewa, sedih, dan binggung.
Sebelum saya mendaftar pertama kali,
ayah saya ditawari oleh seorang oknum untuk langsung 'tembak' dengan harga
sekitar rp 350k (waktu itu november 2012, sebelum kasus joko susilo meluas).
Tapi waktu itu saya tolak karena saya pikir kenapa untuk mendapatkan ijin
mengemudi saja harus mengambil jalan pintas, yang artinya saya juga mendukung
tindak korupsi yang selama ini saya maki-maki para pelakunya. Idealis? Yahh
namaya juga baru lulus kuliah. Kalau bicara soal hukum di indonesia, sudah
merupakan rahasia umum kalau hukum dan oknum di Indonesia bisa dibeli dengan
uang. Ironis? Sangat!! Bagaimana cara
mengubah ‘tradisi’ bangsa kita yang sudah mendarah daging bahkan mungkin lebih
kental dari darah ini dihapuskan??? Tugas anak muda penerus generasi, tapi
pertanyaannya sanggupkah atau beranikah mereka???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar